Thursday, June 12, 2014

BIOGRAFI SULTAN ISKANDAR MUDA: ACHMAD BASITH IKHSAN (1) UKK

Iskandar Muda dari Aceh


Yang Mulia Paduka Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam
Sultan Iskandar Muda (Aceh, Banda Aceh, 1593 atau 1590[1]Banda Aceh, Aceh, 27 September 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.[2] Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.[1]

Keluarga dan masa kecil

Asal usul

Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta.[2] Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; dimana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal.[2]
Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, dimana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3.[2]

Pernikahan

Sri Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Masa kekuasaan

Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda yang dimulai pada tahun 1607 sampai 1636, merupakan masa paling gemilang bagi Kesultanan Aceh, walaupun di sisi lain kontrol ketat yang dilakukan oleh Iskandar Muda, menyebabkan banyak pemberontakan di kemudian hari setelah mangkatnya Sultan.
Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak.
Ketika Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, ia segera melakukan ekspedisi angkatan laut yang menyebabkan ia mendapatkan kontrol yang efektif di daerah barat laut Indonesia.[1] Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke Asahan di selatan. Pelayaran penaklukannya dilancarkan sampai jauh ke Penang, di pantai timur Semenanjung Melayu, dan pedagang asing dipaksa untuk tunduk kepadanya. Kerajaannya kaya raya, dan menjadi pusat ilmu pengetahuan.[3]

Masjid Raya Baiturrahman merupakan salah satu bangunan bersejarah yang di bangun oleh Sultan Iskandar Muda pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam

Kontrol di dalam negeri

Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan ulèëbalang dan mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim1 pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Aceh: Imeum). Ulèëbalang (Melayu: Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan-utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feodal. Pola ini djumpai di Aceh Besar dan di negeri-negeri taklukan Aceh yang penting.[3]

Hubungan dengan bangsa asing

Inggris

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih".[2]
Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:
I am the mighty ruler of the Regions below the wind, who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.
(Hambalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam).
Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

Belanda

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

Utsmaniyah Turki

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang gering maka utusan Kerajaan Aceh terluntang-lantung demikian lamanya sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.

Perancis

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga.[2]
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligoe Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk menggali sebuah kanal yang mengaliri air bersih dari sumber mata air di Mata Ie hingga ke aliran Sungai Krueng Aceh dimana kanal tersebut melintasi istananya, sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe. Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

sumber:wikipedia.com

Wednesday, June 11, 2014

Ternate & Tidore - Lawan / Kawan: Mayendra (21) 5

Tulis artikel tentang ternate dan tidore antara lawan dan kawan!


Jawab :

          Secara geografis kerajaan Ternate dan Tidore terletak di Kepulauan Maluku, antara Sulawesi dan Papua. Letak tersebut sangat strategis dan penting dalam dunia perdagangan masa itu. Pada masa itu, kepulauan Maluku merupakan penghasil rempah-rempah terbesar sehingga dijuluki sebagai “The Spicy Island”. Rempah-rempah menjadi komoditas utama dalam dunia perdagangan pada saat itu, sehingga setiap pedagang maupun bangsa-bangsa yang datang dan bertujuan ke sana. Melewati rute perdagangan tersebut agama Islam meluas ke Maluku, seperti Ambon, Ternate, dan Tidore. Keadaan seperti ini telah mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakatnya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada abad ke 14 Masehi, di Maluku Utara telah berdiri 4 kerajaan yaitu Jailolo,Ternate, Tidore, dan Bacan.
         Masing- masing kerajaan dipimpin oleh seorang kolano. Keempat kerajaan tersebut berasal dari satu keturunan, yaitu JAFAR SADIK, seorang bangsa Arab keturunan Nabi Muhammad saw. Kemajuan Ternate membuat iri kerajaan lainnya. Beberapa kali keempat kerajaan tersebut terlibat perang memperebutkan hegemoni rempah-rempah. Namun, akhirnya mereka dapat mengakhirinya dalam perundingan di Pulau Motir. Dalam persetujan Motir ditetapkan Ternate menjadi kerajaan pertama, Jailolo kedua, Tidore yang ketiga, dan Bacan yang keempat. Kerajaan- kerajaan di Maluku sangat akrab menjalin hubungan ekonomi dengan pedagang Jawa sejak zaman Majapahit. Pedagang Maluku sering mengunjungi bandar seperti Surabaya, Gresik, dan Tuban. Sebaliknya, pedagang Jawa datang ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. 
         Hubungan kedua belah pihak ini sangat berpengaruh terhadap proses penyebaran agama islam di Indonesia. Sejak abad ke-13, Maluku sudah ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang Islam dari Jawa dan Melayu. Seiring dengan ramainya perdagangan, berdatangan pula para mubaligh dari Jawa Timur untuk mengajarkan agama Islam.Salah seorang mubaligh yang berjasa menyiarkan agama islam di Maluku ialah Sunan Giri dari Gresik, Jawa Timur. Kerajaan Ternate merupakan kerajaan yang mendapatkan pengaruh Islam dari para pedagang Jawa dan Melayu. Pusat pemerintahan Ternate terdapat di Sampalu. Raja ternate yang pertama ialah Sultan Zainal Abidin (1486-1500). Raja Ternate yang terkenal ialah Sultan Harun. Hasil utama Ternate waktu itu ialah cengkeh dan pala.

Sumber : Brainly.co.id

Akulturasi Kebudayaan Islam di Indo: Mayendra (21) 4


Bagaimana Proses Akulturasi Kebudayaan Islam di Indonesia?

Jawab :

        Setiap negara pasti mengalami evolusi kebudayaan. Pada dasarnya evolusi kebudayaan merupakan proses perubahan kebudayaan yang berlansung relatif lama dengan perubahan yang bersifat menyempurnakan dari waktu ke waktu. Proses perubahan yang demikian merupakan suatu bentuk penyesuaian terhadap perubahan-perubahan alam agar manusia dapat bertahan hidup sesuai dengan keinginannya. Menurut bentuknya perubahan, kita mengenal 4 macam perubahan kebudayaan yang salah satunya adalah akulturasi kebudayaan.
         Akulturasi kebudayaan merupakan proses bercampurnya dua kebudayaan atau lebih yang ditandai dengan suatu bentuk penyesuaian yang saling melengkapi. Proses akulturasi kebudayaan seringkali terjadi dari masyarakat yang mempunyai peradaban maju menuju masyarakat yang mempunyai peradaban yang sedang berkembang. Ciri-ciri akulturasi kebudayaan antara lain :
1. Proses pencampurannya bersifat melengkapi.
2. Masih tampak unsur-unsur kebudayaan lokal yang dicampuri dan tampak pula unsur-unsur kebudayaan asing yang mencampuri.

        Banyak buku literatur sejarah yang mengungkapkan nenek moyang Indonesia. Kita wajib mengetahui asal-usul nenek moyang kita karena dari situlah akulturasi kebudayaan Negara Indonesia berawal. Di sekitar tahun 1939-1941 ahli-ahli penyelidik telah menemui di Mojokerto sebuah fosil termasuk rahang dan beberapa buah gigi dan tulang paha manusia, yang menurut teori penyelidikan tua adalah termasuk manusia purbakala yang hidup di Tanah Jawa pada masa kira-kira 500.000 tahun sebelum tarikh nabi Isa. Dalam ilmu purbakala, zaman itu dinamai zaman kwartair (zaman keempat). Pada masa itu manusia belumlah sempurna kemanusiaannya, masih dekat lagi dengan kehidupan binatang, belumlah mengenal apa yang dinamakan kebudayaan. Fosil (tengkorak yang telah membatu) itu pernah pula didapati orang dekat Solo (di dekat Trindil).
Kalau penyelidikan ini kita sangkut pautkan dengan dongeng orang tua-tua, teringatlah kita kepada kepercayaan mereka bahwa di zaman purbakala ada raksasa yang besar-besar yang hidupnyapun berbeda dengan hidup manusia. Dan menguntungkan juga bagi kita sebab ilmu penyelidikan atas pertumbuhan hidup manusia itu sudah terpisah jauh daripada ilmu sejarah dan telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri, dinamai antropologi.        Menurut penyelidikan ahli ilmu bangsa-bangsa (etnologi), adapun bangsa yang pada masa sekarang ini yang kita namai bangsa Indonesia, termasuk dalam rumpun bangsa Austronesia. Asal usul keturunannya ialah dari daerah yang dinamai oleh penulis sejarah Eropa, Hindia “Belakang” sebagai timbalan dari hindia “Muka”, yaitu India sekarang ini. Yang mereka namai Hindia Belakang itu ialah daerah yang melingkungi Thailand (Siam), Burma, Kamboja dan Laos (Indo Cina) sekarang ini, termasuk daerah Khmer di uluan, dan di hulunya lagi ialah Tonkin. Mereka berpindah berboyong sekelompok demi sekelompok, mengalirb ke bawah melalui Siam, Semenanjung Tanah Melayu, Pulau Sumatra, jawa dan pulau-pulau besar itu yang dinamai “Nusantara” (Nusa = pulau) dan (Tara = Antara). Terletak diantara dua benua, yaitu Australia dan Asia atau menurut cara berfikir di zaman itu, terletak diantara Benua Cina dan Benua india.
Sumber : Brainly.co.id

Berkembangnya Bahasa Melayu di Indo: Mayendra (21) 3

Mengapa bahasa melayu cepat berkembang di nusantara?


Jawab : 

   Karena bahasa melayu hampir sama dengan bahasa Indonesia, di Indonesia juga banyak keturunan melayu yang dapat menyebabkan berkembangnya bahasa melayu di Indonesia. Lalu karena bahasa Melayu mudah di terima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan.

Sumber : Brainly.co.id

Wayang dalam Islamisasi di Indo: Mayendra (21) 2


Jelaskan bagaimana wayang dapat digunakan dalam proses islamisasi di pulau jawa!

Jawab :

         Wayang digunakan sebagai proses islamisasi dengan cara jalan cerita yang diambil oeh wayang itu adalah cerita islam atau bisa juga cerita jawa yang ada unsur islamnya, atau ceritanya itu mengandung unsur nilai dan nilai-nilai budaya islam. Sarana yang digunakan sebagai media dakwah pada saat itu adalah wayang. Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar.Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang,bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan.Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat.Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.

Sumber: Brainly.co.id

Awal mula kehidupan orang Badui: Mayendra (21) 1


Jelaskan tentang sejarah awal mula kehidupan orang Badui dan adat istiadatnya!

Jawab :


          Masyarakat suku baduy banten termasuk salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar itulah salah satu keunikan Suku Baduy. Sehingga wajar mereka sangat menjaga betul ‘pikukuh’ atau ajaran mereka, entah berupa kepercayaan dan kebudayaan. Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat Istiadatnya dan sangat menjaga alam sekitar. Mereka sadar bahwa mereka hidup dari alam dan berdampingan dengan alam, sehingga mereka harus memiliki kearifannya terhadap alam. Banyak ajaran Suku Baduy berupa larangan atau anjuran yang sebenarnya di khususkan untuk menjaga agar alam. 

         Sampai saat ini, suku baduy dalam tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara sunda). Anak-anak suku baduy dalam pun tidak bersekolah, kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka inilah cara mereka melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan Soeharto sampai sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar mengizinkan pembangunan sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak cerita atau sejarah mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja. 

Sumber : Brainly.co.id

Thursday, May 22, 2014

Sejarah Sultan Ageng Tirtayasa (tugas ke-3)

Nama: Saraya Dwi Fitharti
no absen : 35


Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. 

Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1682. 

Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. 



Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Sultan Ageng Tirtayasa sejak muda sudah menaruh perhatian besar terhadap pengembangan agama Islam di Banten. Untuk mewujudkan keinginannya Sultan mendirikan pondok-pondok Pesantren di beberapa tempat dan menggiatkan pendidikan agama untuk keluarga raja dan masyarakat Banten. Beberapa buah masjid dan mushala dibangun sebagai tempat ibadah yang sekaligus mefasilitasi kegiatan dakwah dan syi’ar Islam.

Seorang ulama dari Makasar yang bernama Syekh Yusuf, yang kemudian menjadi menantu Sultan diangkat sebagai Mufti kerajaan yang sekaligus sebagai penasehat raja dibidang keagamaan. Sebagaimana Mataram, kerajaan Banten mempunyai hubungan persahabatan dengan penguasa Makkah Al Mukaramah, yang menganugerahkan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Selain membangun rohani akhlakul karimah rakyatnya, Sultan berusaha mensejahterakannya dengan mencetak sawah-sawah baru dan membuat sistim irigasi yang dimanfaatkan juga sebagai sarana jalan dari satu desa ke desa lainnya.

Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai dua orang putera, yang sulung sebagai putera mahkota bernama Pangeran Gusti yang belakangan bergelar Sultan Haji, sedang adiknya bernama Pangeran Purbaya. Atas pesan ayahnya sebelum diangkat sebagai Sultan Muda dan diserahi beberapa tugas pemerintahan, Pangeran Gusti terlebih dahulu menunaikan ibadah haji. Disamping menunaikan ibadah kepergiannya ke tanah suci dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan Banten dengan penguasa Masjidil Haram dan Ka’bah serta memperluas wawasan keIslamannya. Sementara Pangeran Purbaya mendapat kesempatan melaksanakan tugas sesuai wewenang yang mestinya menjadi tanggung jawab Pangeran Gusti.
 
Setelah lebih kurang dua tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Pangeran Gusti pulang dengan membawa gelar Sultan Haji. Perkembangan kondisi di kerajaan ternyata menimbulkan kekecewaan yang besar dimana menurut penilainnya Pangeran Purbaya tidak perlu memiliki wewenang yang demikian besar. Pertentangan keluarga kerajaan tak dapat dielakkan, dimana Sultan Haji menyalahkan ayah dan adiknya. Kesempatan ini dimanfaatkan Kompeni Belanda dengan menggunakan cara klasik yang hemat tapi cukup effektif, yakni mengadu domba antara mereka. 

Sultan Haji terbujuk oleh Batavia, sehingga kekuatan Banten terbelah menjadi dua, dan atas bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil menduduki tahta kerajaan Banten di Surosowan. Untuk menghindari pertentangan lebih dalam dengan anaknya sendiri Sultan Ageng menyingkir ke Tirtayasa dan disana mendirikan istana kerajaan baru.

Pada waktu pecah perang antara Sultan Ageng, Pangeran Purbaya disatu pihak dengan Kompeni Belanda, Sultan Haji berusaha membalas budi baik Kompeni kepadanya, maka pasukan Sultan Ageng harus menghadapi dua kekuatan besar. Pada bulan Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Surosowan, tapi Belanda mendatangkan tentaranya dari Batavia dalam jumlah besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. 

Kedatangan bala bantuan yang demikian besar dari Batavia membesarkan hati Sultan Haji, dan pasukan gabungan mereka terus mendesak posisi Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. Keberanian dan keteguhan perjuangan Sultan Ageng membangkitkan semangat Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf, mereka pantang menyerah dan terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah secara terpisah-pisah hingga sampai batas wilayah kekuasan di Tangerang. Pada tahun 1683 Belanda terus mengadakan pengejaran dan Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia.

Sebagai tanda persahabatan dengan Sultan Haji, Kompeni membangun kembali istana Surosowan menjadi istana yang lebih megah dan indah. Sembilan tahun mendekam dalam penjara, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa wafat; jenasahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sebelah Masjid Agung.

Pada tanggal 1 Agustus 1970 Sultan Ageng Tirtayasa, karena jasa-jasanya dan keberanian dalam mempertahankan tanah airnya melawan penjajah Belanda, beliau memperoleh gelar kehormatan dari Pemerintah sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.


Sumber : http://sejarah.info/2012/01/sejarah-sultan-ageng-tirtayasa.html