KHAIRINA YASMIN / X-IPS
Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara
damai dan evolutif. Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal
Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas berlangsung di pesisir pantai,
khususnya melalui aktivitas perdagangan antara penduduk lokal dengan para
pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India).
M.C. Ricklefs dari Australian National University
menyebutkan dua proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi
mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua,
orang-orang asing (Arab, India, Cina) pemeluk Islam menetap di suatu wilayah
Indonesia.
Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono
Widyosiswoyo. Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu:
Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Lewat Jalur Utara, Islam tampil
dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan
lewat pengalaman personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah
yang paling cepat mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam
nusantara. Aceh adalah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.
Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah
Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam
menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi.
Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah
nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211
M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya
kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera
bagian Utara ini, menurut Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.[3]
Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai
berdirinya sejumlah kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku)
penguasanya melakukan konversi ke Islam tahun 1460.[4] Di Demak, penguasanya
mendirikan kota muslim tahun 1470. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki
penguasa Islam.
Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara
Islam yang sudah terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk
dari wilayah Timur Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai dirundung
konflik penafsiran dan ini terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim
Ibnu Saud yang menggunakan Wahhabi sebagai paham keislamannya pada awal abad
ke-19. Tulisan ini tidak akan menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung
antara aneka tipologi Islam. Tulisan hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang
dibawa Islam ke dalam budaya-budaya yang berkembang di Indonesia.
1. Masuknya Islam ke Indonesia
Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad
ke-7 hingga 13 Masehi. Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India
(Gujarat, Benggala). Profesi para penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali,
ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Mereka menyebarkan Islam
lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini berlangsung dalam enam aras, yaitu
perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, seni dan tawaran pembentukan
masyarakat egalitarian dalam strata sosial.
Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam
paling kentara. Dalam proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu
dan saling bertukar pengaruh. Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan
Timur Tengah (Arab dan Persia).
Banyak di
antara pada saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi,
terutama anak-anak kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para
pedagang menganggap pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka
mensyaratkan bahwa untuk menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan
mengucapkan syahadat terlebih dahulu.
Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan
banyak dilakukan antara pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam
pernikahan, mempelai pria Islam (juga wanitanya) mengajukan syarat pengucapan
kalimat syahadat sebagai sahnya pernikahan.
Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak
menarik perhatian kalangan pribumi. Tasawuf cenderung tidak menciptakan posisi
diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan
kalangan pribumi. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan
menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan
Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi
kalangan pribumi.
Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai
basis pendidikan agama Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera
Selatan. Pecantrikan dan Mandala adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di
kalangan penduduk pra Islam. Setelah Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala
tersebut diambil alih lalu diberi muatan Islam dalam kurikulumnya. Kini
pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru agama, kiai, dan ulama.
Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa masing-masing untuk
menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya Raden Rahmat
(Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta.
Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan
dalam penyebaran Islam. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas
masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan
wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan
Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan.
Egalitarianisme. Egalitarianisme akhirnya menempati posisi
kunci. Problem utama di budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial
berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau ketat, Hindu di Indonesia sedikit
banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti Brahmana, Ksatria, Waisya,
Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan sistem ini oleh sebab
mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan perkawinan. Lalu,
Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami, orang-orang
Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik agama
baru ini.
2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa
Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar
semenanjung Malaya. Melayu digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak
digunakan di bagian barat kepulauan Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam,
bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah kosakata Arab ke dalam struktur
bahasanya.
Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan
nusantara, terjadi sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi
terjadi misalnya dalam struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah
mainstream di kebudayaan India. Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam
disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan Mataram Islam) ke dalam sistem
penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis penanggalan Matahari (syamsiah,
mirip gregorian), sementara penanggalan Islam berbasis peredaran Bulan
(qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma mendekritkan perubahan
penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah banyak dipengaruhi budaya
Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama dengan penanggalan
Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada bahasa Arab seperti
Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud (Rabi’ul Awal),
Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir (Jumadil
Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela
(Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap
mengikuti penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak
digunakan penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan
perubahan radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).
Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam
kosakata. Sama dengan sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari
bahasa Indonesia, kosakata Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa
Indonesia, yang sedikit contohnya sebagai berikut:
Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab
Arab
|
Indonesia
|
Arab
|
Indonesia
|
|
isnain
|
Senin (dua)
|
`ajā'ib
|
Ajaib
|
|
tsalasa
|
Selasa (tiga)
|
`aib
|
Aib (malu)
|
|
arbain
|
Rabu (empat)
|
Ahl
|
Ahli
|
|
kamis
|
Khamis (lima)
|
`ādil
|
Adil
|
|
jumu’ah
|
Jumat (ramai)
|
`abd
|
Abdi
|
|
badan
|
Tubuh
|
abadī
|
Abadi
|
|
yatim
|
Yatim
|
Abad
|
Abad
|
|
wujud
|
Wujud (rupa)
|
dahsha
|
Dahsyat
|
|
usquf
|
Pemimpin gereja
|
dalīl
|
Dalil (bukti)
|
|
umr
|
Umur
|
ghaira
|
Gairah (hasrat)
|
|
daraja
|
Derajat
|
wajh
|
Wajah
|
|
darura
|
Darurat
|
wājib
|
Wajib
|
|
awwal
|
Awal
|
walīy
|
Wali
|
|
atlas
|
Atlas
|
waṣīya
|
Wasiat
|
|
asli
|
Asli
|
wilāya
|
Wilayah
|
|
‘amal
|
Amal
|
yaqīn
|
Yakin
|
|
ala
|
Alat
|
ya`nī
|
Yakni
|
|
alama
|
Alamat
|
Nashichah
|
Nasehat/nasihat
|
|
alami
|
Alami
|
Ijazah
|
Ijazah/ijasah
|
3. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan
Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara
budaya adalah pesantren.. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan
pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan
pesantren diambilalih Islam.
Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional
pendidikan Islam. Pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok
yaitu: pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning.
Melalui pesantren, budaya Islam dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya
lokal yang berkembang di sekitarnya tanpa mengakibatkan konflik horisontal
signifikan.
4. Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan Kesenian
Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal
yang dibangun pasca penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang
berkembang di Timur Tengah. Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak
bangunan. Kubah digantikan semacam meru, susunan limas tiga atau lima tingkat,
serupa dengan arsitektur Hindu.
Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di
Indonesia. Menara dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan
penanda shalat. Peran menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda masuknya
waktu shalat. Setelah bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan dilakukan.
Namun, ada pula menara yang dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak.
Uniknya, bentuk menara di kedua masjid mirip bangunan candi Hindu.
Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang
pasca meninggal dunia. Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak
lagi diwujudkan ke dalam bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh
dikebumikan ini ditandai pula batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan
Islam di Indonesia.
Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke
dalam seni. Larangan dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam
Indonesia. Sebagai pengganti kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta
ukiran tersamar. Misalnya bentuk dedaunan, bunga, bukit-bukit karang,
pemandangan, serta garis-garis geometris.
Seni Sastra. Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di
sekitar Selat Malaka dan Jawa. Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas
Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa
Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana,
Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan
Islam semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu
berkembang Sya’ir, terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab
yang membentangkan persoalan tasawuf).
No comments:
Post a Comment