Thursday, May 22, 2014

Sejarah Sultan Ageng Tirtayasa (tugas ke-3)

Nama: Saraya Dwi Fitharti
no absen : 35


Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. 

Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.

Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1682. 

Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. 



Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.

Sultan Ageng Tirtayasa sejak muda sudah menaruh perhatian besar terhadap pengembangan agama Islam di Banten. Untuk mewujudkan keinginannya Sultan mendirikan pondok-pondok Pesantren di beberapa tempat dan menggiatkan pendidikan agama untuk keluarga raja dan masyarakat Banten. Beberapa buah masjid dan mushala dibangun sebagai tempat ibadah yang sekaligus mefasilitasi kegiatan dakwah dan syi’ar Islam.

Seorang ulama dari Makasar yang bernama Syekh Yusuf, yang kemudian menjadi menantu Sultan diangkat sebagai Mufti kerajaan yang sekaligus sebagai penasehat raja dibidang keagamaan. Sebagaimana Mataram, kerajaan Banten mempunyai hubungan persahabatan dengan penguasa Makkah Al Mukaramah, yang menganugerahkan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Selain membangun rohani akhlakul karimah rakyatnya, Sultan berusaha mensejahterakannya dengan mencetak sawah-sawah baru dan membuat sistim irigasi yang dimanfaatkan juga sebagai sarana jalan dari satu desa ke desa lainnya.

Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai dua orang putera, yang sulung sebagai putera mahkota bernama Pangeran Gusti yang belakangan bergelar Sultan Haji, sedang adiknya bernama Pangeran Purbaya. Atas pesan ayahnya sebelum diangkat sebagai Sultan Muda dan diserahi beberapa tugas pemerintahan, Pangeran Gusti terlebih dahulu menunaikan ibadah haji. Disamping menunaikan ibadah kepergiannya ke tanah suci dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan Banten dengan penguasa Masjidil Haram dan Ka’bah serta memperluas wawasan keIslamannya. Sementara Pangeran Purbaya mendapat kesempatan melaksanakan tugas sesuai wewenang yang mestinya menjadi tanggung jawab Pangeran Gusti.
 
Setelah lebih kurang dua tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Pangeran Gusti pulang dengan membawa gelar Sultan Haji. Perkembangan kondisi di kerajaan ternyata menimbulkan kekecewaan yang besar dimana menurut penilainnya Pangeran Purbaya tidak perlu memiliki wewenang yang demikian besar. Pertentangan keluarga kerajaan tak dapat dielakkan, dimana Sultan Haji menyalahkan ayah dan adiknya. Kesempatan ini dimanfaatkan Kompeni Belanda dengan menggunakan cara klasik yang hemat tapi cukup effektif, yakni mengadu domba antara mereka. 

Sultan Haji terbujuk oleh Batavia, sehingga kekuatan Banten terbelah menjadi dua, dan atas bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil menduduki tahta kerajaan Banten di Surosowan. Untuk menghindari pertentangan lebih dalam dengan anaknya sendiri Sultan Ageng menyingkir ke Tirtayasa dan disana mendirikan istana kerajaan baru.

Pada waktu pecah perang antara Sultan Ageng, Pangeran Purbaya disatu pihak dengan Kompeni Belanda, Sultan Haji berusaha membalas budi baik Kompeni kepadanya, maka pasukan Sultan Ageng harus menghadapi dua kekuatan besar. Pada bulan Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Surosowan, tapi Belanda mendatangkan tentaranya dari Batavia dalam jumlah besar dengan persenjataan yang lebih lengkap. 

Kedatangan bala bantuan yang demikian besar dari Batavia membesarkan hati Sultan Haji, dan pasukan gabungan mereka terus mendesak posisi Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. Keberanian dan keteguhan perjuangan Sultan Ageng membangkitkan semangat Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf, mereka pantang menyerah dan terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah secara terpisah-pisah hingga sampai batas wilayah kekuasan di Tangerang. Pada tahun 1683 Belanda terus mengadakan pengejaran dan Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia.

Sebagai tanda persahabatan dengan Sultan Haji, Kompeni membangun kembali istana Surosowan menjadi istana yang lebih megah dan indah. Sembilan tahun mendekam dalam penjara, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa wafat; jenasahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sebelah Masjid Agung.

Pada tanggal 1 Agustus 1970 Sultan Ageng Tirtayasa, karena jasa-jasanya dan keberanian dalam mempertahankan tanah airnya melawan penjajah Belanda, beliau memperoleh gelar kehormatan dari Pemerintah sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.

Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.


Sumber : http://sejarah.info/2012/01/sejarah-sultan-ageng-tirtayasa.html

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE PULAU BALI (tugas ke-2)

SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE PULAU BALI 

nama        : Saraya Dwi Fitharti
no. absen : 35

Sejarah masuknya agama Islam ke Bali dimulai sejak jaman kerajaan pada abad XIV berasal dari sejumlah daerah di Indonesia, tidak merupakan satu-kesatuan yang utuh. “Sejarah masuknya Islam ke Pulau Dewata dengan latarbelakang sendiri dari masing-masing komunitas Islam yang kini ada di Bali, Penyebaran agama Islam ke Bali antara lain berasal dari Jawa, Madura, Lombok dan Bugis. Masuknya Islam pertama kali ke Pulau Dewata lewat pusat pemerintahan jaman kekuasaan Raja Dalam Waturenggong yang berpusat di Klungkung pada abad ke XIV.
  
Raja Dalem Waturenggong berkuasa selama kurun waktu 1480-1550, ketika berkunjung ke Kerajaan Majapahit di Jawa Timur sekembalinya diantar oleh 40 orang pengawal yang beragama Islam. Ke-40 pengawal tersebut akhirnya diizinkan menetap di Bali, tanpa mendirikan kerajaan tersendiri seperti halnya kerajaan Islam di pantai utara Pulau Jawa pada masa kejayaan Majapahit.

Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam kerajaan Gelgel menempati satu pemukiman dan membangun sebuah masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini merupakan tempat ibadan umat Islam tertua di Pulau Dewata.

H. Mulyono, mantan asisten sekretaris daerah Bali itu menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada komunitas muslim yang tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, Kepaon, kelurahan Serangan (Kota Denpasar), Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana).

Masing-masing komunitas itu membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk menjadi satu kesatuan muslim yang utuh. Demikian pula dalam pembangunan masjid sejak abad XIV hingga sekarang mengalami akulturasi dengan unsur arsitektur tradisional Bali atau menyerupai stil wantilan.

Akulturasi dua unsur seni yang diwujudkan dalam pembangunan masjid menjadikan tempat suci umat Islam di di Bali tampak beda dengan bangunan masjid di Jawa maupun daerah lainnya di Indonesia. “Akulturasi unsur Islam-Hindu yang terjadi ratusan tahun silam memunculkan ciri khas tersendiri, unik dan menarik,” tutur Haji Mulyono.

Tengoklah desa-desa muslim yang ada di Bali, seperti Pegayaman (Buleleng), Palasari, Loloan dan Yeh Sumbul (Jembrana) dan Nyuling (Karangasem). Atau, kampung muslim di Kepaon Kota Denpasar.

Kehidupan di sana tak ubahnya seperti kehidupan di Bali pada umumnya. Yang membedakan hanya tempat ibadah saja. Bahkan di Desa Pegayaman, karena letaknya di pegunungan dan tergolong masih agraris, semua simbol-simbol adat Bali seperti subak, seka, banjar, dipelihara dengan baik. Begitu pula nama-nama anak mereka, Wayan, Nyoman, Nengah, Ketut tetap diberikan sebagai kata depan yang khas Bali.

Penduduk kampung ini konon berasal dari para prajurit Jawa atau kawula asal Sasak dan Bugis beragama Islam yang dibawa oleh para Raja Buleleng, Badung dan Karangasem pada zaman kerajaan Bali.

Orang-orang muslim di Kepaon adalah keturunan para prajurit asal Bugis. Kampung yang mereka tempati sekarang merupakan hadiah raja Pemecutan. Bahkan, hubungan warga muslim Kepaon dengan lingkungan puri (istana) hingga sekarang masih terjalin baik.

Beberapa gesekan pernah terjadi diantara warga muslim Kepaon dengan warga asli bali , Raja Pemecutan turun tangan membela mereka. “Mereka cukup disegani. Bahkan, jika ada masalah-masalah dengan komunitas lain, Raja Pemecutan membelanya,” ujar Shobib, aktivis Mesjid An Nur.

Di Denpasar, komunitas muslim dapat dijumpai di Kampung Islam Kepaon, Pulau Serangan dan Kampung Jawa. mayoritas Kampung Kepaon dan Serangan dihuni warga keturunan Bugis.
Konon, nenek moyang mereka adalah para nelayan yang terdampar di Bali. Ketika terjadi perang antara Kerajaan Badung dengan Mengwi, mereka dijadikan prajurit. Setelah mendapat kemenangan, kemudian diberi tanah oleh sang Raja.

Keberadaan ummat islam yang sudah ratusan tahun di bali sedikit banyak memberikan ciri khas tersendiri, misalnya sebagian warga muslim menambahkan nama khas Bali pada anak-anak mereka seperti Wayan, Made, Nyoman dan Ketut, jadi tidaklah sesuatu yang ganjil apabila kita menemukan nama seperti Wayan Abdullah, atau Ketut Muhammad misalnya.

Tetapi ini hanya dalam tataran budaya. Untuk idiom-idiom yang menyangkut agama, mereka tidak mau kompromi. mereka  tetap menjaga nilai-nilai syari'at islam secara utuh. 

Biografi Sunnan Ampel (Dhonny Faiz Akbar no:8)

Sunan Ampel merupakan salah seorang anggota Walisanga yang sangat besar jasanya dalam perkembangan Islam di Pulau Jawa. Sunan Ampel adalah bapak para wali.Dari tangannya lahir para pendakwah Islam kelas satu di bumi tanah jawa. Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sedangkan sebutan sunan merupakan gelar kewaliannya, dan nama Ampel atau Ampel Denta itu dinisbatkan kepada tempat tinggalnya, sebuah tempat dekat Surabaya1.


Ia dilahirkan tahun 1401 Masehi di Champa.Para ahli kesulitan untuk menentukan Champa disini, sebab belum ada pernyataan tertulis maupun prasasti yang menunjukkan Champa di Malaka atau kerajaan Jawa. Saifuddin Zuhri (1979) berkeyakinan bahwa Champa adalah sebutan lain dari Jeumpa dalam bahasa Aceh, oleh karena itu Champa berada dalam wilayah kerejaan Aceh. Hamka (1981) berpendapat sama, kalau benar bahwa Champa itu bukan yang di Annam Indo Cina, sesuai Enscyclopaedia Van Nederlandsch Indie, tetapi di Aceh.

Ayah Sunan Ampel atau Raden Rahmat bernama Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi, yang kemudian dikenal
dengan sebutan Sunan Gresik. Ibunya bernama Dewi Chandrawulan, saudara kandung Putri Dwarawati Murdiningrum, ibu Raden Fatah, istri raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Istri Sunan Ampel ada dua yaitu: Dewi Karimah dan Dewi Chandrawati. Dengan istri pertamanya, Dewi Karimah, dikaruniai dua orang anak yaitu: Dewi Murtasih yang menjadi istri Raden Fatah (sultan pertama kerajaan Islam Demak Bintoro) dan Dewi Murtasimah yang menjadi permaisuri Raden Paku atau Sunan Giri. Dengan Istri keduanya, Dewi Chandrawati, Sunan Ampel memperoleh lima orang anak, yaitu: Siti Syare’at, Siti Mutmainah, Siti Sofiah, Raden Maulana Makdum, Ibrahim atau Sunan Bonang, serta Syarifuddin atau Raden Kosim yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Drajat atau kadang-kadang disebut Sunan Sedayu.

Sunan Ampel dikenal sebagai orang yang berilmu tinggi dan alim, sangat terpelajar dan mendapat pendidikan yang mendalam tentang agama Islam. Sunan Ampel juga dikenal mempunyai akhlak yang mulia, suka menolong dan mempunyai keprihatinan sosial yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial.

Referensi :

- http://satya89.wordpress.com/2009/07/01/biografi-sunan-ampel/

Penjelasan bahwa Sultan Agung seorang budayawan



achmad basith ikhsan (01)

Penjelasan bahwa Sultan Agung seorang budayawan


Benar, buktinya : Sultan Agung adalah raja Mataram yang berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Sultan Agung sangat piawai melakukan rekayasa sosial, bukan hanya di bidang politik dan ekonomi melainkan juga dalam hal kebudayaan. Dalam proses perkembangannya, masyarakat Mataram sebelumnya telah mengenal tradisi-tradisi yang bersumber dari Agama Hindu dan Budha yang berasal dari India.
Masyarakat Mataram telah memilih secara selektif pengaruh kebudayaan dari luar tersebut dan melakukan perpaduan budaya dengan kebudayaan Islam yang dibawa oleh para wali.Sultan Agung memiliki wawasan yang luas dengan selalu menerima unsur budaya luar dalam rangka memperkaya kebudayaan yang telah ada.  Dalam banyak hal Sultan Agung telah merumuskan strategi kebudayaan antara lain seperti berikut ini. Pembuatan silsilah raja-raja Mataram sebagai legitimasi kekuasaan. Raja-raja Mataram diakui sebagai keturunan orang-orang hebat. Disebutkan nama Brawijaya, raja Majapahit, juga ada nama-nama tokoh dalam dunia pewayangan, sampai ada juga Nabi Adam.
Selain itu, Sultan Agung masih mempertahankan tulisan Jawa, tidak digantikan dengan tulisan Arab. Dalam penulisan babad misalnya dilakukan dengan tulisan Jawa. Sering diketemukan juga dalam babad istilah-istilah Islam dengan gaya Jawa seperti kata sarak (syara’), syarengat (syariah), pekih(fakih), kadis (hadits), Ngusman (Usman), Kasan (Hasan), Kusen (Husein) (Moedjanto, 1994: 168). Dalam pembuatan makam, makam Islam biasanya di belakang masjid.Untuk keluarga raja Sultan Agung memerintahkan membuat makam di atas bukit Imogiri. Memerintahkan membuat bentuk bangunan masjid dengan atap meru dan dikembangkan juga seni kaligrafi tulisan arab. Serta menyelenggarakan ritual sekaten untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw. Sultan Agung juga berjasa dalam mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka.

 

Sejarah awal mula kehidupan orang Badui dan adat istiadatnya

Achmad Basith Ikhsan (01)




Sejarah awal mula kehidupan orang Badui dan adat istiadatnya


Suku Baduy atau Kanekesmerupakan suatu kelompok masyarakat Sunda, terletak di Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.