Tuesday, April 22, 2014

Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia (M. Faiq Dinoyu [24])

Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi
berikut ini.
Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran
Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia –
Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang
bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard
H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya
pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai.
Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah
singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori berikutnya.
Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama
yaitu teori Gujarat.
Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan
pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah
mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan
berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh
mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan
Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal
dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli
yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik
Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang
berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak
teori berikutnya.
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya
berasal dari Persia (Iran).
Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam
Indonesia seperti:
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein
cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di
Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut.
Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tandatanda
bunyi Harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama
salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein
Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran
Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari
peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati.
Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali
yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1.Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2.Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3.Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6.Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7.Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8.Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon) Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa
Menyelisik Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
Setidaknya, ada enam pendapat tentang masuknya Islam ke Indonesia.
Pertama, Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia berasal dari Jazirah Arab atau bahkan dari Makkah pada abad ke-7 M, pada abad pertama Hijriah. Pendapat ini adalah pendapat Hamka, salah seorang tokoh yang pernah dimiliki Muhammadiyah dan mantan ketua MUI periode 1977-1981. Hamka yang sebenarnya bernama Haji Abdul Malik bin Abdil Karim mendasarkan pendapatnya ini pada fakta bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah mazhab Syafi’i.
Menurutnya, mazhab Syafi’i berkembang sekaligus dianut oleh penduduk di sekitar Makkah. Selain itu, yang tidak boleh diabaikan adalah fakta menarik lainnya bahwa orang-orang Arab sudah berlayar mencapai Cina pada abad ke-7 M dalam rangka berdagang. Hamka percaya, dalam perjalanan inilah, mereka singgah di kepulauan Nusantara saat itu.
Kedua, Islam dibawa dan disebarkan di Indonesia oleh orang-orang Cina. Mereka bermazhab Hanafi. Pendapat ini disimpulkan oleh salah seorang pegawai Belanda pada masa pemerintahan kolonial Belanda dulu.
Sebelum Indonesia merdeka, orang-orang Belanda pernah menguasai hampir seluas Indonesia sekarang sebelum ditaklukkan oleh tentara Jepang pada 1942. Tepatnya pada 1928, Poortman memulai penelitiannya terhadap naskah Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.
Tidak berhenti di situ, ia melanjutkan penelitiannya terhadap naskah-naskah kuno Cina yang tersimpan di klenteng-klenteng Cina di Cirebon dan Semarang. Ia pun sempat mencari naskah-naskah kuno di sebuah klenteng di Batavia, Jakarta dulu.
Hasil penelitiannya itu disimpan dengan keterangan Uitsluiten voor Dienstgebruik ten Kantore, yang berarti “Sangat Rahasia Hanya Boleh Digunakan di Kantor”. Sekarang disimpan di Gedung Arsip Negara Belanda di Den Haap, Belanda.
Pada 1962, terbit buku Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Dalam buku ini dilampirkan juga naskah-naskah kuno Cina yang pernah diteliti oleh Poortman.
Ketiga, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Gujarat pada abad ke-12 M. Islam dibawa dan disebarkan oleh pedagang-pedagang Gujarat yang singgah di kepulauan Nusantara. Mereka menempuh jalur perdagangan yang sudah terbentuk antara India dan Nusantara.
Pendapat ketiga ini adalah pemdapat Snouck Hurgronje, seorang penasehat di bidang bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam untuk pemerintah kolonial Belanda. Ia mengambil pendapat ini dari Pijnapel, seorang pakar dari Universitas Leiden, Belanda, yang sering meneliti artefak-artefak peninggalan Islam di Indonesia.
Pendapat Pijnapel ini juga dibenarkan oleh J.P. Moquette yang pernah meneliti bentuk nisan kuburan-kuburan raja-raja Pasai, kuburan Sultan Malik Ash-Shalih. Nisan kuburan Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Jawa Timur, juga ditelitinya. Dan ternyata sangat mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Cambay, Gujarat.
Rupanya, pendapat Moquette yang memperkuat pendapat Pijnapel dan Hurgronje disanggah oleh S.Q. Fatimi. Pendapat Fatimi adalah nisan-nisan kuburan yang ada di Aceh dan Gresik justru lebih mirip dengan bentuk nisan-nisan kuburan yang ada di Benggala, sekitar Bangladesh sekarang.
Lebih jauh lagi, Fatimi percaya, pengaruh-pengaruh Islam di Benggala itu banyak ditemui dalam Islam yang berkembang di Nusantara dulu. Oleh karena itu, Islam yang ada di Indonesia ini sebenarnya berasal dari Bangladesh. Pendapat ini adalah pendapat keempat.
Pendapat Moquette juga disanggah oleh G.E. Marrison. Marrison malah yakin, bahwa Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Alasannya, pada abad ke-13 M, Gujarat masih menjadi sebuah kerajaan Himdu, sedang di Pantai Coromandel Islam telah berkembang. Marrison juga berpendapat, para pembawa dan penyebar Islam yang pertama ke Indonesia adalah para Sufi India.
Mereka menyebarkan Islam di Indonesia dengan pendekatan tasawwuf pada akhir abad ke-13 M. Waktu itu, masih terhitung belum lama dari peristiwa penyerbuan Baghdad oleh orang-orang Mongol.
Penyerbuan yang dimaksud memaksa banyak Sufi keluar dari zawiyah-zawiyah mereka dan melakukan pengembaraan ke luar wilayah Bani Abbasiyah, seperti ke ujung Persia atau bahkan ke India.
Sebelum Marrison mengemukakan pendapatnya, T.W. Arnold telah meyakini bahwa Islam di Indonesia juga dibawa atau berasal dari Pantai Coromandel dan Malabar, India. Karena itu, banyak yang beranggapan bahwa Marrison memperkuat pendapat Arnold itu.
Setelah kelima pendapat itu, Hoesein Djajaningrat mengemukakan pendapat keenam tentang masuknya Islam di Indonesia. Djajaningrat dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang mempertahankan disertasi di Universitas Leiden, Belanda, pada 1913. Disertasinya itu berjudulCritische Beschouwing van de Sadjarah Banten (Pandangan Kritis mengenai Sejarah Banten).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia berasal dari Persia. Djajaningrat beralasan, peringatan 10 Muharram atau hari Asyura sebagai hari kematian Husein bin Ali bin Abi Thalib yang ada di Indonesia berasal dari perayaan kaum Syiah di Persia. Peringatan 10 Muharram itu lebih dikenal sebagai perayaan Hari Karbala.
Djajaningrat juga yakin dengan pendapat ini, karena keberadaan pengaruh bahasa Persia di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, keberadaan Syeikh Siti Jenar dan Hamzah Fansuri dalam sejarah Indonesia menandakan adanya pengaruh ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj, seorang Sufi ekstrim yang berasal dari Persia.
Dapat terlihat bahwa perbedaan pendapat itu terjadi karena dasar-dasar berpikir yang dipakai dalam membangun pendapat. Pijnapel, Hurgronje, Marrison, Moquette, Fatimi lebih mempercayai bukti-bukti kongret yang masih bisa diyakini secara pasti, bukan perkiraan.
Karena itu, pendapat-pendapat mereka lebih logis, meskipun bisa menuntut mereka untuk percaya bahwa Islam pertama kali berkembang di Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, lebih belakangan ketimbang agama Hindu dan Buddha.
Berbeda dari pendapat Residen Poortman. Meski berdasarkan catatan-catatan Cina yang tersimpan bertahun-tahun, masih ada kemungkinan salah tafsir atas pernyataan-pernyataan tertulis yang ada di di dalamnya. Dan juga: masih besar kemungkinan adanya manipulasi data tanpa sepengetahuan para pembaca.
Pendapat Hamka bahkan lebih mudah lagi untuk terjerumus ke dalam bentuk syak yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Pendapatnya berdasarkan perkiraan-perkiraan pribadi. Pendapatnya tidak ditunjang oleh data sejarah yang kongkret. Sangat kecil kemungkinan pendapatnya untuk benar.
Demikian pula, kiranya, dengan pendapat Djajaningrat. Bisa jadi persamaan-persamaan yang dikemukakan dalam pendapatnya itu hanya kebetulan-kebetulan yang mirip pada objek.
Akan tetapi, hampir setiap pendapat itu memiliki konsekuensi. Jika seseorang memercayainya suatu pendapat dari pendapat-pendapat itu, maka, bagaimana pun, ia mesti menerima konsekuensi-konsekuensi yang ada.
Seperti jika percaya pendapat bahwa Islam dibawa masuk dari Persia, sedikit banyaknya, akan membuat kita berpikir, para penyebar Islam pertama kali di Nusantara adalah orang-orang Syiah.
Dan karena itu, Syiah adalah bentuk akidah pertama yang diterima di Indonesia. Baru setelah itu Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berkembang.
Apabila kita memercayai Islam yang masuk di Indonesia berasal dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M, berarti orang-orang di Nusantara telah mengenal dakwah Islam sejak masa para sahabat masih hidup.
Artinya, ketika para tabi’in ramai-ramai menuntut ilmu agama pada para sahabat Nabi, segelintir orang di Nusantara juga telah mengenal Islam yang sama pada waktu itu. Hanya jarak yang memisahkan mereka.
Demikian pula, jika kita menerima pendapat bahwa Islam berasal dari Pantai Coromandel, India Selatan. Jika pendapat ini yang kita terima, maka bisa dipastikan para pemeluk pemula Islam di Indonesia adalah orang-orang yang berakidah dengan akidah Sufi atau setidaknya mengenal Islam lewat kacamata tasawwuf.

No comments:

Post a Comment