Nama: Saraya Dwi Fitharti
no absen : 35
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati.
Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten. Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 – 1682.
Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten.
Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Sultan Ageng Tirtayasa sejak muda sudah menaruh perhatian besar terhadap pengembangan agama Islam di Banten. Untuk mewujudkan keinginannya Sultan mendirikan pondok-pondok Pesantren di beberapa tempat dan menggiatkan pendidikan agama untuk keluarga raja dan masyarakat Banten. Beberapa buah masjid dan mushala dibangun sebagai tempat ibadah yang sekaligus mefasilitasi kegiatan dakwah dan syi’ar Islam.
Seorang ulama dari Makasar yang bernama Syekh Yusuf, yang kemudian menjadi menantu Sultan diangkat sebagai Mufti kerajaan yang sekaligus sebagai penasehat raja dibidang keagamaan. Sebagaimana Mataram, kerajaan Banten mempunyai hubungan persahabatan dengan penguasa Makkah Al Mukaramah, yang menganugerahkan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah bagi Sultan Ageng Tirtayasa. Selain membangun rohani akhlakul karimah rakyatnya, Sultan berusaha mensejahterakannya dengan mencetak sawah-sawah baru dan membuat sistim irigasi yang dimanfaatkan juga sebagai sarana jalan dari satu desa ke desa lainnya.
Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai dua orang putera, yang sulung sebagai putera mahkota bernama Pangeran Gusti yang belakangan bergelar Sultan Haji, sedang adiknya bernama Pangeran Purbaya. Atas pesan ayahnya sebelum diangkat sebagai Sultan Muda dan diserahi beberapa tugas pemerintahan, Pangeran Gusti terlebih dahulu menunaikan ibadah haji. Disamping menunaikan ibadah kepergiannya ke tanah suci dimaksudkan untuk mendekatkan hubungan Banten dengan penguasa Masjidil Haram dan Ka’bah serta memperluas wawasan keIslamannya. Sementara Pangeran Purbaya mendapat kesempatan melaksanakan tugas sesuai wewenang yang mestinya menjadi tanggung jawab Pangeran Gusti.
Setelah lebih kurang dua tahun meninggalkan tanah kelahirannya, Pangeran Gusti pulang dengan membawa gelar Sultan Haji. Perkembangan kondisi di kerajaan ternyata menimbulkan kekecewaan yang besar dimana menurut penilainnya Pangeran Purbaya tidak perlu memiliki wewenang yang demikian besar. Pertentangan keluarga kerajaan tak dapat dielakkan, dimana Sultan Haji menyalahkan ayah dan adiknya. Kesempatan ini dimanfaatkan Kompeni Belanda dengan menggunakan cara klasik yang hemat tapi cukup effektif, yakni mengadu domba antara mereka.
Sultan Haji terbujuk oleh Batavia, sehingga kekuatan Banten terbelah menjadi dua, dan atas bantuan Belanda, Sultan Haji berhasil menduduki tahta kerajaan Banten di Surosowan. Untuk menghindari pertentangan lebih dalam dengan anaknya sendiri Sultan Ageng menyingkir ke Tirtayasa dan disana mendirikan istana kerajaan baru.
Pada waktu pecah perang antara Sultan Ageng, Pangeran Purbaya disatu pihak dengan Kompeni Belanda, Sultan Haji berusaha membalas budi baik Kompeni kepadanya, maka pasukan Sultan Ageng harus menghadapi dua kekuatan besar. Pada bulan Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng berhasil merebut istana Surosowan, tapi Belanda mendatangkan tentaranya dari Batavia dalam jumlah besar dengan persenjataan yang lebih lengkap.
Kedatangan bala bantuan yang demikian besar dari Batavia membesarkan hati Sultan Haji, dan pasukan gabungan mereka terus mendesak posisi Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya. Keberanian dan keteguhan perjuangan Sultan Ageng membangkitkan semangat Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf, mereka pantang menyerah dan terus mengadakan perlawanan terhadap Belanda di daerah-daerah secara terpisah-pisah hingga sampai batas wilayah kekuasan di Tangerang. Pada tahun 1683 Belanda terus mengadakan pengejaran dan Sultan Ageng tertangkap dan dipenjarakan di Batavia.
Sebagai tanda persahabatan dengan Sultan Haji, Kompeni membangun kembali istana Surosowan menjadi istana yang lebih megah dan indah. Sembilan tahun mendekam dalam penjara, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa wafat; jenasahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sebelah Masjid Agung.
Pada tanggal 1 Agustus 1970 Sultan Ageng Tirtayasa, karena jasa-jasanya dan keberanian dalam mempertahankan tanah airnya melawan penjajah Belanda, beliau memperoleh gelar kehormatan dari Pemerintah sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Sumber : http://sejarah.info/2012/01/sejarah-sultan-ageng-tirtayasa.html
Sumber : http://sejarah.info/2012/01/sejarah-sultan-ageng-tirtayasa.html