Monday, May 19, 2014

Kesultanan Pajang (initial G no. absen 13)

Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang , Kota Solo dan Desa Makamhaji,Karatsura,Sukoharjo.
Pada awalnya berdiri tahun 1549, wilayah kesultanan pajang hanya meliputi sebagian Jawa Tengah. Karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian Sultan Trenggono. Ditahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para Adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam Kesempatan iu, para adipati sepakat mengakui kedaulatan Pajang diatas negeri - negeri Jawa Timur.
Sebagai tanda ikatan politik, Panji Wiryakrama (pemimpin persekutuan adiapti Jawa Timur) dinikahkan dengan puteri Sultan Hadiwijaya. Negeri kuat lainnya yaitu Madura juga berhasil ditaklukkan Pajang. Pemimpin bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dawur juga diambil sebagai menantu Sultan Hadiwijaya. Sedangkan tanah Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya yang diberikan kepada Ki Penjawi dan Ki Ageng Pemanahan yang membantu menumpas Arya Panangsang.
Ki Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga. Hal ini dilakukan karena Sultan Hadiwijaya mendengar ramalam Sunan Prapen bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar daripada Pajang. Ramalan tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin oleh Danang Sutawijaya putera Ki Ageng Pemanahan sejak tahun 1575. Di bawah pimpinannya Mataram berkembang dengan pesatnya.
Tahun 1582 meletus perang Pajang dengan Mataram karena Danang Sutawijaya membela adik iparnya yaitu Tumenggung Mayang yang dihukum untuk dibuang ke Semarang oleh Sultan Hadiwijaya. Perang dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang jumlahnya lebih besar. Sepulang dari perang Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia.
Terjadilah persaingan antara putera dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Panggiri. Selanjutnya  Arya Panggiri sebagai raja didukung oleh Panembahan Kudus berhasil naik tahta tahun 1583. Pemerintahan Arya Panggiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram. Kehidupan rakyat Pajang terabaikan, hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke Jipang merasa prihatin.
Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Danang Sutawijaya untuk menyerbu Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang pun berakhir dengan kekalahan Arya Panggiri. Ia dikembalikan kenegeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja di Pajang yang ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir pada tahun 1587. Tidak ada putera mahkota yang menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan negeri bawahan oleh Mataram. Yang menjadi Bupati adalah Pangeran Gagak Baning, adik Danang Sutawijaya
Laweyan memang memiliki sejarah tersendiri. Banyak sejarah tercatat di kampung ini. Selain telah menjadi sentra industri batik sejak Pajang 1546 M. Laweyan memiliki sejarah sebagai pusat kegiatan ekonomi. Situs Bandar Kabanaran dan bekas Pasar Laweyan, membuktikan Laweyan sebagai kawasan perdagangan.
Keberadaan masjid tua, menunjukan Laweyan pernah menjadi kawasan penyebaran Islam. Masjid-masjid itupun hingga kini masih berdiri. Antara lain Masjid Laweyan, Langgar Merdeka, Langgar Makmoer. Laweyan juga pernah menjadi kawasan pejuang dan raja. Di sini pernah tinggal Sutowijoyo/ Panembahan Senopati. Tak ayal jika bangunan Kota Gede di Yogyakarta mirip dengan Laweyan. Laweyan juga menjadi tempat peristirahatan terakhir Kyai Ageng Anis, dia merupakan tokoh cikal bakal raja-raja Mataram.
Pada masa kolonial, Laweyan tercatat sebagai kebangkitan pedagang pribumi. Sebagai bukti, di kawasan ini pernah tinggal H. Samanhudi pendiri Serikat Dagang Islam. Salah satu pahlawan nasional bangsa Indonesia. Bentuk kawasan dengan bangunan bertembok besar dan berhimpit, serta ruas jalan yang sempit, tentu bukanlah hal yang tidak sengaja. Besar kemungkinan ini terkait dengan pergerakan perjuangan warga Laweyan kala itu.
Sangat wajar jika Laweyan menjadi kampung pergerakan. Dengan keberadaan materi, tentu banyak warga yang mengeyam pendidikan. Suatu hal yang amat mahal kala itu. Kepintaran yang diperoleh pun, menjadikan warga Laweyan kritis terhadap persoalan yang ada. Maka, tidak heran jika warga Laweyan agak berjauhan dengan kaum birokrat waktu itu. Sebagai kampung pergerakan, masih banyak bangunan Laweyan yang dapat dijadikan bukti sejarah. Sayangnya, bangunan Laweyan sedikit banyak telah berubah. Laweyan memiliki bentuk bangunan yang khas. Mayoritas rumah dikelilingi tembok besar dan regol yang besar. Bangunan rumah pun khas Jawa Eropa, tak jarang pula yang bernuansa Cina Islam.
Dulu, hampir tiap rumah memiliki pintu kecil. Pintu ini menghubungkan rumah satu dengan yang lainnya. “ Dulu bisa blusukan antar rumah,” Selain itu, pintu ini mempermudah akses keluar masuk para warga, terutama jika ada kebakaran. Laweyan memang memiliki jalan yang sempit. Jarak antar rumah pun berhimpitan. Ini agak berbahaya. Satu rumah terbakar, dapat dengan mudah merembet ke rumah yang lain. Jalanan sempit juga menjadi penghalang masuknya mobil pemadam kebakaran.
Perlebaran jalan sempat dilakukan. Ini terlihat dari beberapa tanda bekas di beberapa ruas jalan. Tanda bekas tersebut, dulunya merupakan tembok batas rumah. Sekarang, walaupun masih sempit, pelebaran jalan sangat membantu akses masuk ke wilayah Laweyan. Terutama bagi armada pemadam kebakaran.
Pada jaman kolonial, pintu ini sangat berguna bagi kaum pergerakan. Jika ada operasi atau serangan ke Laweyan, maka pintu ini menjadi akses bagi kaum pergerakan untuk melarikan diri. Laweyan menjadi daerah yang aman untuk kaum pergerakan. Seluruh wilayah hampir dikelilingi tembok tinggi besar. Selain untuk menjaga keamanan pemiliki rumah, privasi pun sangat terjaga di Laweyan. “ Dulu, di jaman pergerakan. Dengan tembok yang tinggi, Laweyan sangat aman untuk pergerakan,”
Rumah Laweyan kuno memang sangatlah unik. Satu kampung, memiliki bentuk yang hampir mirip. Pabrik-pabrik home industry yang besar, dan rumah bernuansa Jawa Eropa kuno menyiratkan Laweyan sebagai kawasan elite waktu itu.
Bangunan di Laweyan memang eksotis nan elit. Namun dibalik itu, cukup banyak cerita dan rahasia yang belum terungkap. Ada beberapa bagian bangunan di Laweyan yang sengaja dikamuflasekan. Adapun salah satunya adalah bunker bawah tanah.
Bunker ini menjadi kamuflase karena keberadaannya yang rahasia. Keberadaannya hanya diketahui oleh pemilik rumah. Biasanya ditutupi dengan almari, meja, maupun dengan karpet. Karena begitu rahasianya, terkadang keberadaannya tidak diketahui oleh anggota keluarga yang lain, termasuk anak.
Bunker ini ada yang buntu dan ada yang tembus ke tempat lain. Bunker tembus ini tersambung dengan jalan bawah tanah. “Biasanya, bunker tembus menghubungkan satu sampai tiga rumah” Malah, ada beberapa yang tembus ke kebon atau tanah latar. Jadi ada jalan bawah tanah di kawasan Laweyan. Sayangnya, banyak bunker ini yang sudah ditutup oleh pemilik rumah.
“ Menurut cerita leluhur, bunker buntu digunakan untuk menyimpan harta benda” Suatu hal yang wajar, di masa itu bank memang sedikit. Sedangkan bunker tembus, digunakan untuk komunikasi yang rahasia. Tidak jarang digunakan untuk menitipkan atau memindahkan barang. Tukar informasi rahasia pun dilakukan lewat bunker tembus. Biasanya bunker tembus terdapat pada bangunan jawa yang sangat kuno. “ Mungkin bangunan yang sebelum abad 20,”
Saat ini, di Laweyan masih ada satu rumah yang masih memiliki bunker. Bahwa bunker ini merupakan peninggalan kerajaan Pajang. Jadi, keberadaan bunker lebih dulu ada daripada rumahnya.
Bunker ini dibuat oleh Hangabehi Kertayuda, salah seorang abdi dalem kerajaan Pajang. Bunker merupakan bunker tembus. Bunker ini menghubungkan rumahnya dengan rumah di sebelah utara rumahnya, dan tembus ke pendapa dekat sungai. Pendapa ini pun, saat ini sudah roboh.

sumber : berbagai sumber

No comments:

Post a Comment